Aqiqah termasuk ibadah yang hukumnya sunnah dan sangat dianjurkan bagi orang yang mampu. Maksudnya adalah jika seorang muslim mampu melaksanakannya (karena mempunyai harta yang cukup) maka ia dianjurkan untuk melakukan aqiqah bagi anaknya saat anak tersebut masih bayi. Sementara bagi orang yang kurang atau tidak mampu, pelaksanaan aqiqah dapat ditiadakan. Aqiqah dilaksanakan dengan menyembelih domba atau kambing. Pada umumnya, daging aqiqah ini dibagikan kepada masyarakat sekitar dalam kondisi sudah dimasak. Hasil olahan kambing atau domba dapat berupa sate serta gulai. Tidak seperti daging qurban yang dibagikan mentah, namun jika daging aqiqah mau dibagikan mentah juga diperbolehkan.
Sunnah Aqiqah
Prosesi yang hukumnya sunah muakkadah ini paling tepat dilaksanakan pada hari ketujuh setelah lahirnya bayi. Jika belum siap dan tidak mampu melakukan ketika bayi menginjak tujuh hari, Anda pun dapat melaksanakan pada hari ke-14, 21, atau dianjurkan sebelum anak masuk masa baligh.
Dari ‘Aisyah RA, ia berkata, “Rasulullah SAW pernah ber’aqiqah untuk Hasan dan Husain pada hari ke-7 dari kelahirannya, beliau memberi nama dan memerintahkan supaya dihilangkan kotoran dari kepalanya (dicukur).“ (HR. Hakim, dalam Al-Mustadrak juz 4, hal. 264, no. 7588).
Dari Salman bin ‘Amir Adl-Dlabiy, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Tiap-tiap anak itu ada ‘aqiqahnya. Maka sembelihlah binatang ‘aqiqah untuknya dan buanglah kotoran darinya (cukurlah rambutnya).“ (HR. Bukhari juz 6, hal. 217).
Dari Samurah bin Jundab, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Tiap-tiap anak tergadai (tergantung) dengan ‘aqiqahnya yang disembelih untuknya pada hari ke-7, di hari itu ia dicukur rambutnya dan diberi nama.“ (HR. Abu Dawud juz 3, hal. 106, no. 2838).
Seperti yang sudah kita ketahui bersama, bahwasanya pelaksanaan ibadah aqiqah yang paling afdol adalalah dilaksanakan pada hari ke-7 kelahiran. Dianjurkan agar aqiqah dilakukan di hari yang ketujuh. Pada proses menentukan hari ke tujuh terkadang kita masih banyak dijumpai kebingungan. Apakah dihitung sejak hari lahirnya atau hari lahirnya tidak masuk ke dalam hitungan?
Dalam hal menentukan hari ke tujuh kelahiran terdapat perbedaan pendapat ulama mengenai cara menghitung hari ketujuh pasca-kelahiran. Perbedaan ini berangkat dari, apakah hari kelahiran dihitung ataukah tidak dihitung?
Bagaimana menentukan hari ke Tujuh Kelahiran?
Pendapat Al-Malikiyah
Al-Imam Malik menghitung hari pertama kelahiran bayi dimulai dari sehari setelah hari kelahiran atau keesokan harinya. Misalnya, seorang bayi dilahirkan pada hari Rabu, maka hitungan hari pertama dimulai hari Kamis, hari kedua Jumat, hari ketiga Sabtu, hari keempat Minggu, hari kelima Senin, hari keenam Selasa dan hari ketujuh adalah hari Rabu.
Maka waktu untuk menyembelih hewan aqiqah adalah hari Rabu, yaitu hari yang sama dengan hari kelahiran bayi, satu seminggu kemudian.
Tetapi ada sedikit catatan, yaitu bila bayi lahir lewat tengah malam sebelum terbit fajar, maka hari kelahirannya itu sudah mulai dihitung sebagai hari pertama. Misalnya bayi lahir hari Jumat dini hari jam 02.30. Maka hari Jumat itu sudah dianggap hari pertama, sehingga hitungan hari ketujuh akan jatuh di hari Kamis dan bukan hari Jumat.
Pendapat Al-Imam Malik ini sejalan dengan pandanga para ulama lain seperti Al-Imam An-Nawawi dan Al-Buwaithi dari mazhab Asy-Syafi’iyah.
Pendapat Ibnu Hazm
Sedangkan Ibnu Hazm berpendapat bahwa cara menghitungnya adalah dengan menjadikan hari kelahiran sebagai hari pertama. Sehingga bila ada bayi lahir di hari Senin, maka hari pertama adalah Senin, hari kedua Selasa, hari ketiga Rabu, hari keempat Kamis, hari kelima Jumat, hari keenam Sabtu, dan hari ketujuh adalah Minggu.
Maka hewan aqiqah disembelih pada hari Minggu.
Yang sejalan dengan pendapat Ibnu Hazm ini antara lain Ar-Rafi’i dari mazhab Asy-Syafi’iyah.
Mayoritas ulama menyatakan bahwa hari kelahiran juga dihitung untuk menentukan tujuh hari pasca-lahiran. Pendapat yang paling shahih, hari kelahiran masuk dalam hitungan, sehingga hitungan hari penyembelihan aqiqah adalah enam hari setelah kelahiran.