Dalam Islam, Aqiqah merupakan salah satu bentuk rasa syukur kepada Allah atas kelahiran seorang anak ke dunia yang dianjurkan oleh Rasulullah. Rasulullah bersabda, “Setiap bayi tergadai oleh aqiqahnya, disembelihkan (kambing) atasnya pada hari ketujuh, dicuckur rambutnya, dan diberi nama.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Sebelum membahas tentang aqiqah untuk diri sendiri, ada baiknya mengetahui hukum aqiqah bagi orang tua. Nah, jika pada saat yang ditentukan (hari ketujuh usai lahirnya bayi) orang tua masih belum mampu melaksanakan aqiqah bayinya, maka boleh dilaksanakan pada hari ke-14 atau ke-21. Sementara jika tak juga mampu, terutama dari segi keuangan, silakan mengakikahi si kecil kapan saja. Diusahakan sebelum anak memasuki usia baligh.
Inilah indahnya Islam. Segalanya telah diatur sedemikian rupa, sehingga ibadah apa pun itu tidak akan memberatkan pemeluknya.
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (QS. At-Taghabun [64]: 16).
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (QS. Al-Baqarah[2]: 286).
Tanggung Jawab Orang Tua Mengakikahi Anak
Saat buah hati dilahirkan, meski dalam keadaan cukup, tidak semua orang tua tergerak untuk melakukan penyembelihan kambing atau domba sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah Ta’ala. Di sisi lain ada pula ayah-bunda yang ingin sekali mengakikahi bayinya, akan tetapi tidak mampu. Dalam kondisi orang tua yang mampu ketika anak lahir, tapi menunda aqiqah-nya, dianjurkan agar anak tetap di aqiqahi meskipun sudah dewasa. Lain hukumnya jika saat anak hadir ke dunia, keadaan ekonomi ayah-bunda “tidak sehat” atau pas-pasan. Dalam kondisi ini tanggung jawab orang tua dalam meng-aqiqah anak pun gugur.
Lalu, Bolehkah Aqiqah untuk diri sendiri?
Dalam hal ini ada perbedaan pendapat antara ulama terkait aqiqah bagi diri sendiri ketika sudah dewasa.
Pendapat Pertama: Boleh Dilakukan
Ar-Rafi’i Ulama dari kalangan mazhab Asy-yafi’yah mengatakan jika seseorang mengakhirkan dari menyembelihkan aqiqah untuk anaknya hingga anaknya telah baligh, maka gugur kesunnahannya dari ibadah tersebut. Apabila sang anak telah baligh dan mempunyai keinginan untuk melakukan ibadah aqiqah bagi dirinya sendiri, tidak mengapa.
Ulama Ibnu Sirin berkata, “Seandainya aku tahu bahwa aku belum diaqiqahi, maka aku akan mengaqiqahi diriku sendiri.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf, 8: 235-236. Sanadnya shahih kata Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 2726).
Selanjutnya Imam Hasan Al Bashri berkata, “Jika engkau belum diaqiqahi, maka aqiqahilah dirimu sendiri jika engkau seorang laki-laki.” (Disebutkan oleh Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, 8: 322. Sanadnya hasan kata Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 2726).
Pendapat Kedua: Tidak Perlu
Salah satu ulama pengikut mazhab Hanbali, Ibnu Qudamah berkata, “Menurut kami, penyembelihan itu disyariatkan sebagai beban bagi orang tua dan orang lain tidak dibebankan untuk melakukannya, seperti shadaqah fithr. (rujuk kitab Al-Mughni jilid 8 halaman 646).
Adapun Hal-hal lain mengenai pendapat kedua ini dikarenakan beberapa sebab di antaranya:
- Para sahabat Nabi pada masa jahiliah yang belum diakikahi, tidak melakukan aqiqah sendiri saat telah menjadi muslim;
- Hadis yang menyebutkan aqiqah bagi diri sendiri tergolong hadis lemah atau dho’if;
- Aqiqah ialah salah satu ibadah sunah utama, bukan wajib. Orang tualah yang dianjurkan mengakikahi si anak (jadi bukan diri sendiri yang melakukan prosesi ini).
Kesimpulan yang bisa diambil adalah Anda memiliki dua pilihan, boleh meng-aqiqah diri sendiri atau tidak juga tak masalah. Hal ini pun serupa dengan pendapat Imam Syafi’i (Shahih Fiqih Sunnah, 2/383). Setiap dari kita boleh saling berbeda pendapat dengan cara yang beradab, santun, wajar, dan tetap menjaga nilai-nilai ukhuwah. Wallahua’lam Bishawab